Selasa, 26 Juni 2012

Faktor-faktor yang mempengaruhi efektifitas suatu penerapan hukum



Dalam realita kehidupan bermasyarakat, seringkali penerapan hukum tidak efektif sehingga wacana ini menjadi perbincangan menarik untuk di bahas dalam perspektif efektifitas hukum. Artinya benarkah hukum yang tidak efektif atau pelaksana hukumkah sesungguhnya yang berperan untuk mengefektifkan hukum itu?

Sebenarnya pada hakikatnya persoalan efektifitas hukum seperti yang diungkapkan Dr. Syamsuddin Pasamai, SH., MH., dalam bukunya Sosiologi dan Sosiologi Hukum, persoalan efektifitas hukum mempunyai hubungan yang sangat erat dengan persoalan penerapan, pelaksanaan dan penegakan hukum dalam masyarakat demi tercapainya tujuan hukum. Artinya hukum benar-benar berlaku secara filosofis, juridis dan sosiologis.

Untuk menmbahas ketidakefektifan hukum, ada baiknya juga memperhatikan faktor-faktor yang mempengaruhi efektifitas suatu penerapan hukum. Hal ini sejalan dengan apa yang diungkapkan Ishaq, SH., MHum., dalam bukunya Dasar-dasar Ilmu Hukum yang menyebutkan dalam proses penegakan hukum, ada faktor-faktor yang mempengaruhi dan mempunyai arti sehingga dampak positif dan negatifnya terletak pada isi faktor tersebut.

Menurut Soerjono Soekanto bahwa faktor tersebut ada lima, yaitu :
1.      Hukumnya sendiri.
2.      Penegak hukum.
3.      Sarana dan fasilitas.
4.      Masyarakat.
5.       Kebudayaan.

A. Faktor Hukum

Dalam praktik penyelenggaraan hukum di lapangan ada kalanya terjadi pertentangan antara kepastian hukum dan keadilan, hal ini disebabkan oleh konsepsi keadilan merupakan suatu rumusan yang bersifat abstrak, sedangkan kepastian hukum merupakan suatu prosedur yang telah ditentukan secara normatif.
Justru itu, suatu kebijakan atau tindakan yang tidak sepenuhnya berdasar hukum merupakan sesuatu yang dapat dibenarkan sepanjang kebijakan atau tindakan itu tidak bertentangan dengan hukum. Maka pada hakikatnya penyelenggaraan hukum bukan hanya mencakup low enforcement saja, namun juga peace maintenance, karena penyelenggaraan hukum sesungguhnya merupakan proses penyerasian antara nilai kaedah dan pola perilaku nyata yang bertujuan untuk mencapai kedamaian.
Dengan demikian, tidak berarti setiap permasalahan sosial hanya dapat diselesaikan dengan hukum yang tertulis, karena tidak mungkin ada peraturan perundang-undangan yang dapat mengatur seluruh tingkah laku manusia, yang isinya jelas bagi setiap warga masyarakat yang diaturnya dan serasi antara kebutuhan untuk menerapkan peraturan dengan fasilitas yang mendukungnya.



Pada hakikatnya, hukum itu mempunyai unsur-unsur antara lain hukum perundang-undangan, hukum traktat, hukum yuridis, hukum adat, dan hukum ilmuwan atau doktrin. Secara ideal unsur-unsur itu harus harmonis, artinya tidak saling bertentangan baik secara vertikal maupun secara horizontal antara perundang-undangan yang satu dengan yang lainnya, bahasa yang dipergunakan harus jelas, sederhana, dan tepat karena isinya merupakan pesan kepada warga masyarakat yang terkena perundang-undangan itu.
Mengenai faktor hukum dalam hal ini dapat diambil contoh pada pasal 363 KUHP yang perumusan tindak pidananya hanya mencantumkan maksimumnya saja, yaitu 7 tahun penjara sehingga hakim untuk menentukan berat ringannya hukuman dimana ia dapat bergerak dalam batas-batas maksimal hukuman.

Oleh karena itu, tidak menutup kemungkinan hakim dalam menjatuhkan pidana terhadap pelaku kejahatan itu terlalu ringan, atau terlalu mencolok perbedaan antara tuntutan dengan pemidanaan yang dijatuhkan. Hal ini merupakan suatu penghambat dalam penegakan hukum tersebut.


B. Faktor Penegakan Hukum
Dalam berfungsinya hukum, mentalitas atau kepribadian petugas penegak hukum memainkan peranan penting, kalau peraturan sudah baik, tetapi kualitas petugas kurang baik, ada masalah. Oleh karena itu, salah satu kunci keberhasilan dalam penegakan hukum adalah mentalitas atau kepribadian penegak hukum dengan mengutip pendapat J. E. Sahetapy yang mengatakan :

“Dalam rangka penegakan hukum dan implementasi penegakan hukum bahwa penegakan keadilan tanpa kebenaran adalah suatu kebijakan. Penegakan kebenaran tanpa kejujuran adalah suatu kemunafikan. Dalam kerangka penegakan hukum oleh setiap lembaga penegakan hukum (inklusif manusianya) keadilan dan kebenaran harus dinyatakan, harus terasa dan terlihat, harus diaktualisasikan”.

Di dalam konteks di atas yang menyangkut kepribadian dan mentalitas penegak hukum, bahwa selama ini ada kecenderungan yang kuat di kalangan masyarakat untuk mengartikan hukum sebagai petugas atau penegak hukum, artinya hukum diidentikkan dengan tingkah laku nyata petugas atau penegak hukum. Sayangnya dalam melaksanakan wewenangnya sering timbul persoalan karena sikap atau perlakuan yang dipandang melampaui wewenang atau perbuatan lainnya yang dianggap melunturkan citra dan wibawa penegak hukum, hal ini disebabkan oleh kualitas yang rendah dari aparat penegak hukum tersebut.

Hal ini dapat berakibat tidak memahami batas-batas kewenangan, karena kurang pemahaman terhadap hukum, sehingga terjadi penyalahgunaan wewenang dalam melakukan tugas penyidikan dan tugas kepolisian lainnya.
Masalah peningkatan kualitas ini merupakan salah satu kendala yang dialami diberbagai instansi, tetapi khusus bagi aparat yang melaksanakan tugas wewenangnya menyangkut hak asasi manusia (dalam hal ini aparat penegak hukum) seharusnya mendapat prioritas.
Walaupun disadari bahwa dalam hal peningkatan mutu berkaitan erat dengan anggaran lainnya yang selama ini bagi Polri selalu kurang dan sangat minim.


C. Faktor Sarana atau Fasilitas Pendukung

Faktor sarana atau fasilitas pendukung mencakup perangkat lunak dan perangkat keras, salah satu contoh perangkat lunak adalah pendidikan. Pendidikan yang diterima oleh Polisi dewasa ini cenderung pada hal-hal yang praktis konvensional, sehingga dalam banyak hal polisi mengalami hambatan di dalam tujuannya, diantaranya adalah pengetahuan tentang kejahatan computer, dalam tindak pidana khusus yang selama ini masih diberikan wewenang kepada jaksa, hal tersebut karena secara teknis yuridis polisi dianggap belum mampu dan belum siap. Walaupun disadari pula bahwa tugas yang harus diemban oleh polisi begitu luas dan banyak.
Masalah perangkat keras dalam hal ini adalah sarana fisik yang berfungsi sebagai faktor pendukung. Sebab apabila sarana fisik seperti kertas tidak ada dan karbon kurang cukup dan mesin tik yang kurang baik, bagaimana petugas dapat membuat berita acara mengenai suatu kejahatan. Menurut Soerjono Soekanto dan Mustafa Abdullah pernah mengemukakan bahwa bagaimana polisi dapat bekerja dengan baik, apabila tidak dilengkapi dengan kendaraan dan alat-alat komunikasi yang proporsional ?
Oleh karena itu, sarana atau fasilitas mempunyai peranan yang sangat penting di dalam penegakan hukum. Tanpa adanya sarana atau fasilitas tersebut, tidak akan mungkin penegak hukum menyerasikan peranan yang seharusnya dengan peranan yang aktual.


D. Faktor Masyarakat

Penegak hukum berasal dari masyarakat dan bertujuan untuk mencapai kedamaian di dalam masyarakat. Setiap warga masyarakat atau kelompok sedikit banyaknya mempunyai kesadaran hukum, persoalan yang timbul adalah taraf kepatuhan hukum, yaitu kepatuhan hukum yang tinggi, sedang, atau kurang. Adanya derajat kepatuhan hukum masyarakat terhadap hukum, merupakan salah satu indikator berfungsinya hukum yang bersangkutan.

Sikap masyarakat yang kurang menyadari tugas polisi, tidak mendukung, dan malahan kebanyakan bersikap apatis serta menganggap tugas penegakan hukum semata-mata urusan polisi, serta keengganan terlibat sebagai saksi dan sebagainya. Hal ini menjadi salah satu faktor penghambat dalam penegakan hukum.








E. Faktor Kebudayaan

Dalam kebudayaan sehari-hari, orang begitu sering membicarakan soal kebudayaan. Kebudayaan menurut Soerjono Soekanto, mempunyai fungsi yang sangat besar bagi manusia dan masyarakat, yaitu mengatur agar manusia dapat mengerti bagaimana seharusnya bertindak, berbuat, dan menentukan sikapnya kalau mereka berhubungan dengan orang lain. Dengan demikian, kebudayaan adalah suatu garis pokok tentang perikelakuan yang menetapkan peraturan mengenai apa yang harus dilakukan, dan apa yang dilarang.

Kelima faktor di atas saling berkaitan dengan eratnya, karena menjadi hal pokok dalam penegakan hukum, serta sebagai tolok ukur dari efektifitas penegakan hukum. Dari lima faktor penegakan hukum tersebut faktor penegakan hukumnya sendiri merupakan titik sentralnya. Hal ini disebabkan oleh baik undang-undangnya disusun oleh penegak hukum, penerapannya pun dilaksanakan oleh penegak hukum dan penegakan hukumnya sendiri juga merupakan panutan oleh masyarakat luas.

Kelima faktor yang dikemukakan Soerjono Soekanto tersebut, tidaklah disebutkan faktor mana yang sangat dominan berpengaruh atau mutlaklah semua faktor tersebut harus mendukung untuk membentuk efektifitas hukum. Namun sistematika dari kelima faktor ini jika bisa optimal, setidaknya hukum dinilai dapat efektif.
Sistematika tersebut artinya untuk membangun efektifitas hukum harus diawali untuk mempertanyakan bagaimana hukumnya, kemudian disusul bagaimana penegak hukumnya, lalu bagaimana sarana dan fasilitas yang menunjang, kemudian bagaimana masyarakat merespon serta kebudayaan yang terbangun.
Dari apa yang dikemukakan Soerjono Soekanto, tentu bukan hanya kelima faktor tersebut, tetapi banyak faktor-faktor lainnya yang ikut mempengaruhi efektifnya suatu hukum diterapkan. Salah satu inisialnya adalah faktor keadaan atau kondisi yang melingkupi penerapan suatu hukum.

Hukum disini bisa saja menjadi tidak menentu dan menjadi wilayah “abu-abu” tidak jelas dan samar-samar bahkan kerapkali dipermainkan untuk kepentingan tertentu sehingga tidaklah heran bila orang yang tidak bersalah sama sekali bisa di hukum dan orang yang bersalah menjadi bebas.
Di negeri ini telah banyak contoh-contoh kasus, semisal kasus Ryan yang cukup menjadi sorotan karena dalam kasus pembunuhan ini terjadi salah tangkap pelaku yang sebenarnya. Bisa dibayangkan bagaimana penegak hukum bekerja tanpa bukti awal yang mengeratkan sehingga seseorang ditangkap lalu di tahan.
Mencermati kasus Ryan ini sungguh menarik membahasnya dalam ranah hukum, dimana profesionalisme penegak hukum yang prosesnya diawali dari Polri, jaksa dan hakim (penegak hukum), dituntut untuk menjunjung tinggi hukum.
Dalam hukum dikenal asas praduga tak bersalah sekaligus asas praduga bersalah. Polisi dituntut untuk menjadikan asas ini sebagai suatu bekal dalam bertindak terutama dalam melakukan penangkapan. Tetapi menurut Prof. Dr. Achmad Ali, SH. MH. membicarakan asas praduga ini haruslah berhati-hati karena masyarakat bisa saja keliru memahami, khususnya membicarakan asas praduga bersalah.
Polisi dalam profesionalismenya bekerja bisa saja menganut asas praduga bersalah karena mungkin telah cukup kuat bukti, namun dalam proses hukum haruslah mengedepankan asas praduga tak bersalah.
Prof. Dr. Achmad Ali, SH., MH., dalam bukunya menjelajahi kajian empiris terhadap hukum, disebutkan Polisilah yang berada pada Garda terdepan karena Polisi yang paling banyak berhubungan langsung dengan warga masyarakat, dibandingkan dengan Penegak Hukum lainnya yang berada “dibalik tembok tinggi” perkantoran tempat mereka bekerja sehari-hari.
Oleh karena itu sikap dan keteladanan Personal Kepolisian menjadi salah satu faktor dihargai atau tidaknya mereka oleh warga masyarakat terhadap penegak hukum, yang cukup berpengaruh terhadap ketaatan mereka.
Olehnya itu, kualitas dan keberdayaan Polisi menurut Prof. Dr. Achmad Ali, SH., MH., merupakan salah satu faktor yang sangat menentukan efektif atau tidaknya ketentuan hukum yang berlaku.
Sehubungan dengan persoalan efektivitas hukum, maka selain faktor-faktor tersebut, ada juga pandangan lain seperti ajaran realisme yaitu pengindentikan hukum dengan proses pengadilan.
Salmond, misalnya memperbaiki pandangan kaum positivis, khususnya uraian Austin tentang wujud atau sifat hukum yang memodifikasi pendekatan positivisme itu menjadi pendekatan yang realistis.
Salmon mendefinisikan hukum sebagai sekumpulan asas-asas yang diakui dan diterapkan oleh Negara melalui peradilan. Hukum boleh tumbuh di luar kebiasaan maupun dunia praktek, tetapi bagi Salmond, ia baru memperoleh karakter hukum nanti pada saat ia diakui dan diterapkan oleh pengadilan dalam putusan yang dijatuhkannya.
Menurut Salmond, pengujian hukum yang sebenarnya adalah ketika ia dilaksanakan oleh pengadilan. Salmond melalui definisi hukumnya yang dikaitkan dengan Pengadilan, menuntut agar tujuan hukum ditukarkan pada jaminan keadilan.
Pandangan-pandangan Salmond ini di kecam dan di bantah bahwa keadilan bukan satu-satunya tujuan hukum. Dimasa moderen ini, tujuan hukum seperti yang tampak diterima, secara universal adalah terjaminnya ketertiban di dalam masyarakat, kebahagian sebesar-besarnya warga masyarakat dan merekonsiliasi atau penyesuaian antara keinginan seseorang dengan kebebasan orang lain.
Jika hukum tujuannya hanya sekedar keadilan, maka kesulitannya karena keadilan itu bersifat subjektif, sangat tergantung pada nilai-nilai intrinsik subjektif dari masing-masing orang. Menurut Prof. Dr. Achmad Ali apa yang adil bagi si Baco belum tentu di rasakan adil bagi si Sangkala.
Bahkan ada pula ilmuwan yang pernah mengungkapkan kekecewaannya selama mengamati pelaksanaan penegakan hukum di Negara yang berlambang Burung Garuda ini, dengan lantang mempublikasikan pernyataannya dalam suatu tulisan, bahwa seandainya Negara, Hakim, Jaksa, Polisi dan Pengacara tidak peduli pada Penegakan Hukum, maka orang-orang yang cinta hukum tidak boleh putus asa.
Hal ini, diungkapkan Dr. Syamsuddin Pasamai, SH bahwa dalam bukunya Sosiologi dan Sosiologi Hukum, dimana pada hakikatnya persoalan efektivitas hukum mempunyai hubungan yang sangat erta dengan persoalan penerapan, pelaksanaan hukum dalam masyarakat demi tercapainya tujuan hukum. Artinya hukum benar-benar berlaku secara Filosofis, Yuridis dan Sosiologis.
Berkenaan dengan morfologi antara efektivitas hukum dengan persoalan-persoalan di sekitar penerapan pelaksanaan dan penegakan hukum tersebut, tidak jarang ditemukan ada warga masyarakat yang memvonis bahwa keadaan Pemerintah (arti luas) di Indonesia, secara empiric mencerminkan bahwa penerapan pelaksanaan dan Penegakan hukum ternyata masih belum atau kurang efektif. Hal ini disebabkan fungsi hukum belum dijalankan sebagaimana mestinya sehingga berakibat tidak dapatnya diwujudkan tujuan-tujuan postif dari hukum.
Menurut L.J. Van Apeldoorn, bahwa efektivitas hukum berarti keberhasilan keberhasilan, kemajemukan atau kekujaraban hukum atau Undang-Undang untuk mengatur pergaulan hidup masyarakat secara damai.
Pandangan L.J. Van Apeldoorn ini, memandang efektifnya suatu hukum dilihat dari output, bila di sana-sini masih saja terjadi berbagai pelanggaran-pelanggaran hukum, kriminalitas masih marak dilakukan di mana-mana dengan berbagai modus operasional baru, maka disinilah hukum dipertanyakan, walaupun dengan ini dapat saja dibantah bahwa bukan hanya hukumnya saja tetapi termasuk pelaksanaan hukumnya.
Pertanyaan yang patut untuk dijawab, karena masih saja ada pelanggaran hukum, kenapa orang masih saja mencuri, kenapa orang masih saja ada yang membunuh, kenapa masih saja saja orang melanggar lalu lintas, kenapa masih saja ada yang korupsi dan sederet lagi pertanyaan-pertanyaan yang seakan tidak habis untuk dipertanyakan, sementara hukumnya yang mengatur jelas dengan sangsi-sangsinya.
Jawaban dari semua ini adalah bahwa efektivitas hukum hanya dapat terlaksana dengan baik, manakala hukum dijunjung tinggi dan moralitas penegak hukumnya serta masyarakat yang mensupport ke arah itu.










Andi Mallarangeng bantah terlibat kasus Wisma Atlet
Terbaru  22 Februari 2012 - 14:55 WIB
Menegpora Andi Malarangeng membantah tuduhan yang menyebutnya terkait kasus suap Wisma Atlet SEA Games 2011.
Menteri Pemuda dan Olahraga, Andi Mallarangeng, yang bersaksi dalam sidang kasus suap Wisma Atlet SEA Games untuk tersangka Muhammad Nazaruddin, membantah berbagai tuduhan yang menyebut dirinya terkait dalam kasus tersebut.
Kehadiran Andi Mallarangeng sebagai saksi diperlukan karena proyek Wisma Atlet dianggap berada dalam tanggung jawab kementeriannya.
Tetapi di hadapan majelis hakim, Rabu (22/02), Andi mengaku tidak pernah meminta fee sebesar 8% kepada Mindo Rosalina Manulang, mantan anak buah Nazarudin, terkait proyek wisma atlet tersebut.
"Bukan saya," kata Andi, menjawab pertanyaan kuasa hukum Nazarudin, Hotman Paris Hutapea.
Andi juga mengaku tidak mengenal Mindo Rosalina.
Sebelumnya, nama Andi dikaitkan dengan tuduhan kuasa hukum Rosalina, Achmad Rifai, yang menyebut ada seorang menteri meminta jatah uang kepada Rosa terkait dua proyek dengan nilai total Rp 180miliar.
Tentang informasi yang menyebut dirinya menerima uang pelicin proyek wisma atlet yang diterima tim suksesnya dari Mindo Rosalina saat Kongres Partai Demokrat di Bandung, Andi mengaku tidak mengetahuinya.
"Yang jelas, saya tidak menerima itu. Kalau tim sukses yang menerima, saya ingin tahu siapa tim sukses yang mana, kapan dan di mana".
Dana Rp10 miliar
Dalam persidangan, Andi Malarangeng juga mengaku tidak mengetahui bahwa anak buahnya, Wafid Muharram, mengembalikan dana talangan seberar Rp10miliar ke Mindo Rosalinda.
"Saya tidak tahu, saya tidak pernah dilapori," tandas Malarangeng.
Dalam keterangannya, mantan Sesmenpora Wafid Muharram mengaku telah mengembalikan Rp10 miliar kepada Mindo Rosalina.
"Yang jelas, saya tidak menerima itu. Kalau tim sukses yang menerima, saya ingin tahu siapa tim sukses yang mana, kapan dan di mana."
Menegpora Andi Mallarangeng
Saat ini, Wafid dan Rosa telah divonis bersalah terlibat kasus suap dalam proyek wisma atlet SEA Games.
Andi Malarangeng dipanggil bersaksi dalam kasus suap Wisma Atlet dengan tersangka Nazaruddin, anggota DPR Partai Demokrat sekaligus pimpinan PT DGI.
Nazarudin didakwa menerima pelicin atau fee sebesar Rp 4,6 miliar melalui Permai Group, atas upayanya mengawal pemenangan proyek Wisma Atlet ke tangan PT DGI.
Sementara itu, tersangka lainnya adalah Muhammad El Idris, manajer Marketing PT DGI; Rosalina Manulang, anak buah Nazaruddin; serta Wafid Muharram, sekretaris kementerian Kemenegpora.
Mereka dibekuk penyidik KPK pada 21 April 2011 lalu, seusai transaksi uang pelicin atas proyek tersebut.
Tiga orang ini telah dinyatakan terbukti bersalah dan dihukum pidana penjara.







Perjalanan Angelina dalam Kasus Wisma Atlet
Angelina Sondakh resmi ditetapkan KPK sebagai tersangka.
Jum'at, 3 Februari 2012, 15:55 WIB
Anggi Kusumadewi, Dedy Priatmojo, Ita Lismawati F. Malau


VIVAnews – Jumat, 3 Februari 2012, KPK resmi menetapkan Angelina Sondakh sebagai tersangka kasus suap Wisma Atlet SEA Games berdasarkan dua alat bukti. Kementerian Hukum dan HAM juga mengeluarkan pencegahan ke luar negeri terhadap Angelina, atas permintaan KPK.


Nama Angelina memang kerap disebut-sebut oleh Nazaruddin. Anggota Badan Anggaran DPR itu makin tersudut ketika namanya semakin intens disebut dalam persidangan Nazaruddin. Terlebih sejumlah saksi yang merupakan mantan anak buah Nazar, yaitu Mindo Rosalina Manulang dan Yulianis, juga menguatkan tudingan Nazaruddin dengan membeber peran Angelina dalam kasus tersebut.

Sudah sejak lama Nazaruddin menuding Angelina menerima uang dari Kementerian Pemuda dan Olahraga. Nazar bahkan menyatakan, Angelina pernah mengakui perbuatannya itu di hadapan Tim Pencari Fakta Fraksi Demokrat pada 12 Mei 2011, dalam pertemuan yang digelar di ruangan Ketua Fraksi Demokrat Jafar Hafsah.

“Saya mendengar pengakuan dari Angie (Angelina) dalam pertemuan yang dihadiri Benny K. Harman, Jafar Hafsah, Edi Sitanggang, Max Sopacua, Ruhut Sitompul, M. Nasir, dan saya sendiri. Angelina mengakui adanya penerimaan uang Rp9 miliar dari Menpora, dalam hal ini Andi Mallarangeng, dan (Sekretaris Kemenpora) Wafid Muharram,” kata Nazaruddin dalam nota eksepsinya di hadapan Majelis Hakim Pengadilan Tindak Pidana Korupsi, Jakarta, Rabu 7 Desember 2011.

Nazar mengatakan, Angie mengaku menyerahkan uang kepada politisi Demokrat yang juga pimpinan Badan Anggaran DPR Mirwan Amir sebesar Rp8 miliar. “Di forum itu, Mirwan juga mengakui telah menerima Rp8 miliar dari Angelina,” ujar Nazaruddin.
Setelah itu, lanjut Nazar, Mirwan mengaku membagikan uang Rp8 milair tersebut kepada pihak lain, yaitu kepada Anas Urbaningrum sebesar Rp2 miliar, pengurus fraksi sebesar Rp1 miliar, dan selebihnya digunakan oleh Mirwan sendiri.

Hari ini, Jumat 3 Februari 2012, Nazar bahkan mengatakan Angelina seharusnya sudah menjadi tersangka. “Yang harusnya jadi tersangka dari awal kasus ini adalah Angelina Sondakh. Dia ngaku nerima uang Wisma Atlet,” kata Nazaruddin.

Kesaksian Rosa

Terpidana kasus siap Wisma Atlet, Mindo Rosalina Manulang, juga membeber peran Angelina. “Ibu Angie minta uang karena sedang ada pembahasan anggaran Kemenpora. Ada (proyek pembangunan fasilitas olahraga di) Hambalang atau (pembangunan) Wisma Atlet. Dia bilang butuh uang untuk menggolkan anggaran,” kata Rosa di sidang Pengadilan Tindak Pidana Korupsi, Senin 16 Januari 2012.
Menurut mantan anak buah Nazar di PT Anak Negeri itu, Angelina telah menerima uang dari dirinya terkait proyek pembangunan wisma Atlet SEA Games di Palembang. “Waktu itu kantor (PT Anak Negeri) mengeluarkan Rp10 miliar. Sebanyak Rp5 miliar untuk Angie, Rp5 miliar sisanya saya tidak tahu. Sebab, kalau tidak diberi uang, susah turun anggaran,” ujar Rosa.

Rosa menambahkan, uang yang ia serahkan kepada Angie itu untuk uang muka anggaran proyek. “Saya tanya sama Bu Angie, ‘Bu ini untuk apa ya?’ Terus Bu Angie bilang, ‘Biasa, untuk pimpinan-pimpinan kita di Banggar (Badan Anggaran DPR). Kalau Ketua Besar kenyang, kita kan enak,’” kata Rosa menirukan ucapan Angelina.

Permintaan Angie ini, imbuh Rosa, dia teruskan kepada Nazaruddin selaku atasannya, sebab jika uang tak mengalir, Rosa yakin anggaran akan mandeg dan tidak turun untuk proyek Kemenpora itu.

Kesaksian Yulianis

Sementara itu, mantan anak buah Nazaruddin uyang merupakan Wakil Direktur Keuangan PT Permai Grup, Yulianis, juga membenarkan ucapan Rosa itu. “Angelina Sondakh dan Wayan Koster mendapat Rp5 miliar,” kata Yulianis di Pengadilan Tipikor, Jakarta, Rabu 25 Januari 2012, saat bersaksi untuk terdakwa Nazaruddin.


Yulianis mengungkap adanya catatan pengeluaran uang untuk menggiring proyek di Kemenpora dan Komisi X DPR. “Bu Mindo Rosalina Manulang mengatakan ada yang ke Sekretaris Menteri Pemuda dan Olahraga Wafid Muharam, Paul Nelwan. Ada juga yang ke Angelina Sondakh dan Wayan Koster,” kata dia.
Lebih lanjut Yulianis merinci, berdasarkan catatannya, Paul Nelwan mendapat aliran dana sebesar Rp150 juta. Yulianis juga mengatakan, terdakwa Nazaruddin dalam rapat pernah menyebut nama Angelina Sondakh, Andi Mallarangeng, Paul Nelwan terkait penggiringan proyek.


Jawaban Angelina

 “Saya sudah cukup dizalimi, saya ingin tahu apa pernah mereka bicara (dengan saya). Soal Kemenpora tidak pernah membicarakan. Lillahi ta'ala saya,” kata Angelina.
Mantan putri Indonesia menambahkan, dirinya tidak akan terus berdiam diri. Dia mengatakan akan menjelaskan semuanya suatu saat nanti, bahwa tak ada uang sepeser pun yang pernah diterimanya.

“Aku selama ini diam. Apa karena aku janda, karena aku diam terus, (maka terus dituding). Pada saatnya aku akan bilang, aku nggak pernah (terlibat),” tegas Angelina.